Skip to main content

Nasib Rohingya Yang Ditindas

By The Globe Journal
Berbagai macam harapan serta kekhawatiran terasa semakin kental dan menguat, mewarnai atmosfer di seluruh negeri Myanmar belakangan ini. Kondisi itu menyusul sejumlah perubahan drastis, yang seolah terjadi bertubi-tubi, di negeri yang beberapa dekade terakhir terisolasi dan dikuasai pemerintahan junta militer. Sebagian kalangan meyakini Myanmar tengah berubah dan berupaya mereformasi diri. Hal itu tampak dan dimulai dari langkah pembebasan tokoh demokrasi sekaligus peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, yang diikuti dengan pembubaran junta militer.


Setelah itu disusul pembebasan ratusan tahanan politik, pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Myanmar, serta revisi dan penyusunan produk undang-undang pro-reformasi. Namun, sebagian kalangan lain ada pula yang masih meragukan kesungguhan serta keseriusan perubahan dan upaya reformasi di sana. Keraguan terutama pada kualitas pemilihan umum yang digelar November lalu, termasuk juga produk pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu itu.


Salah satu suku bangsa yang mendiami Myanmar meragukan kondisi negara mereka akan semakin membaik. Mereka meragukan menganggap pemilu hanyalah pura-pura dan penuh kecurangan. Sehingga, sebagian etnis Rohingya yang mayoritas muslim pada berlarian ke Negara lain untuk menghindari konflik.

Nah, Rabu lalu (1/2), sekitar pukul 09:00 wib, para nelayan di kawasan Desa Bluka Teubay, Krueng Geukuh, Aceh Utara, spontan kaget ketika melihat puluhan sosok berkulit gelap menggunakan kapal yang tak layak ditumpangi sedang melambaikan tangan meminta pertolongan. Para nelayan di Aceh Utara sebelumnya tidak mengenali dari mana asal mereka. Waktu terus berjalan, para nelayan pun berbondong-bondong mendekati warga asing tersebut dengan menggunakan enam unit kapal. Jarak antara pesisir Bluka Teubay dengan lokasi terdamparnya warga asing itu berjarak sekitar 30 mil, dan memakan waktu sekitar tiga jam perjalanan.

Setelah didekati, ternyata mereka merupakan warga Rohingya Myanmar yang beragama Islam, ditandai dengan pakaian mereka. Dengan menggunakan bahasa isyarat, orang Rohingya tersebut memohon kepada nelayan Aceh untuk segera memberikan pertolongan. Hal itu diungkapkan oleh Sumardi (30), yang merupakan nelayan di kawasan Bluka, kepada The Globe Journal.

Sumardi bersama nelayan lainnya bergegas membawa rombongan Rohingya ke daratan Krueng Geukuh. Jumlah mereka sangat banyak, sekitar 55 orang, kebanyakan masih berusia muda, dari 9 tahun sampai 45 tahun. Setelah sampai di daratan, masyarakat Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe pun gempar, langsung memadati pesisir itu untuk menyaksikan lebih dekat etnis Rohingya.

Waktu terus berjalan, hingga Rabu sore, warga Rohingya mulai mendapatkan pertolongan secara intensif oleh instansi terdekat, termasuk pihak Kecamatan Dewantara dan kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe. Berbagai bantuan disalurkan oleh pihak Kecamatan Dewantara serta warga setempat, seperti pakaian, sarung, peci dan makanan. Tak lama setelah itu, etnis Rohingya akhirnya dibawa ke penampungan sementara oleh pihak imigrasi Lhokseumawe ke kantor imigrasi lama yang terletak dikawasan Peunteut, Blang Mangat, Lhokseumawe.

Pihak imigrasi melakukan pendataan sidik jari terhadap 55 warga Rohingya tersebut. The Globe Journal yang mengikuti perkembangan tersebut, terlihat pada wajah mereka hampa tanpa senyum. Sesekali mereka menatap kearah luar dari jendela yang berbesi, menangis sambil mengucapkan ayat-ayat suci Al-quran.

55 masyarakat Rohingya mengaku, bahwa mereka terpaksa melarikan diri ke Negara lain karena mereka ditindas oleh militer di Negaranya. “Awalnya kami ingin menuju ke Negara Malaysia untuk memilih hidup disana sambil bekerja. Namun, kami terbawa oleh gelombang laut dan terdampar di Aceh,”ungkap Mohammed saat diwawancarai sejumlah wartawan dengan menggunakan bahasa Inggris ala kadarnya.

Rombongan menggunakan kapal yang sangat tidak layak, apalagi dikatakan aman. Kapal yang biasanya cuma muat 15 orang, malah ditumpangi 55 orang. Pengungsi ini tidak mau dikembalikan ke asal mereka (Myanmar), karena hukum di Negara mereka sangat kejam. Mereka seringkali menerima perlakuan keji dari kalangan bersenjata disana. Mereka terpaksa meninggalkan keluarga, anak isteri, demi menghindari sasaran peluru yang berseliweran di Myanmar.

Hingga saat ini, keberadaan mereka terus dipantau oleh pihak terkait. Belum dapat diputuskan kemana mereka selanjutnya akan dibawa, apakah ke Malaysia, dikembalikan ke negara asal atau ke negara lain yang mau menampung. Ini akan menjadi urusan pihak kementerian luar negeri untuk mencarikan negara ketiga yang bersedia menerima.

Kita hanya bisa berdoa, semoga negara impian mereka jauh lebih baik dari asal mereka. Sebagai sesama muslim, mereka adalah saudara dan wajib kita kita tolong.

Comments

Popular posts from this blog

Amnesty International's T. Kumar to Speak at the Islamic Society of North America's Convention

Amnesty International's T. Kumar to Speak at the Islamic Society of North America's Convention  Advocacy Director T. Kumar to Speak on Rohingya Muslims in Myanmar (Burma)  Contact: Carolyn Lang, clang@aiusa.org, 202-675-8759  /EINPresswire.com/ (Washington, D.C.) -- Amnesty International Advocacy Director T. Kumar will address the Islamic Society of North America's 49th Annual Convention "One Nation Under God: Striving for the Common Good," in regards to the minority community of Rohingya Muslims in Myanmar (Burma) on Saturday, September 1, at 11:30 am at the Washington DC Convention Center. 

American Buddhists Promote 969 Movement With Website

Irrawaddy News: July 9, 2013 A group of American Buddhists has launched an English-language website promoting the 969 movement, in response to negative media surrounding the ultra-nationalist Buddhist campaign in Burma. The website aims to dispel “myths” about the movement, with a letter from nationalist monk Wirathu to a Time magazine reporter whose article about 969 was banned in Burma.  “We’re not officially endorsed by Ven Wirathu at this time but will send a delegation to his monastery soon,” a spokesperson for the site said via email, adding that the group would create a nonprofit to coordinate “969 activities worldwide in response to religious oppression.”

Rohingya Activist Nominated for Human Rights Award

PHR congratulates Zaw Min Htut, a Burmese Rohingya activist, on his nomination for the 2011  US State Department Human Rights Defenders Award . Zaw Min Htut has been working for Rohingyas’ rights through the Burmese Rohingya Association of Japan since he fled Burma in 1998. Prior to that he was a student activist in Burma, and was detained for his participation in protests in 1996. In Japan, Zaw Min Htut has organized protests at the Burmese embassy and has written books on the history of Rohingya.